YUTELNEWS.com | Banyuwangi, Pers atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi, dengan tegas menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran, karena terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Serta berpotensi menghapus karakter dan identitas bangsa Indonesia, yang terkandung dalam budaya Banyuwangi dan budaya Nusantara.
Penyusunan Revisi RUU Penyiaran, juga tidak melibatkan berbagai pihak terkait, seperti organisasi profesi jurnalis, komunitas pers dan lainnya. Dalam draf Revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus Pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi;
Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Hal ini jelas menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya, mengapa Revisi RUU Penyiaran ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi?.
Padahal, selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi.
Secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. Upaya ini tentu menjadi ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan Revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas.
Pasal 50 B ayat 2 huruf k, yakni tentang larangan penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir. Terutama yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi, memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis atau pers. Apalagi, sesuai UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, sudah terdapat Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Kita sepakat bahwa sistem tata negara Republik Indonesia, menggunakan demokrasi. Dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik.
Pasal 8 A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.
Pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi, juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.
Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.
Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.
Pasal 50 B ayat 2 huruf f dan h, yang melarang penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung unsur mistik dan penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran pengobatan supranatural.
Pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi, memandang larangan tersebut berpotensi menghapus atau berlawanan dengan semangat pelestarian budaya Banyuwangi, bahkan budaya Nusantara. Mengingat unsur mistis dan pengobatan supranatural merupakan kekayaan budaya Banyuwangi dan Nusantara yang diwariskan oleh nenek moyang serta leluhur.
Yang perlu digaris bawahi, budaya merupakan akar dari karakter dan identitas masyarakat Banyuwangi, Nusantara dan bangsa Indonesia.
Billy Graham, seorang pemikir barat menyampaikan; Ketika kehilangan kekayaan, anda tidak kehilangan apa-apa. Ketika kehilangan Kesehatan anda kehilangan sebagian dari hidup. Ketika kehilangan karakter, anda kehilangan segalanya.
Terkait larangan siaran mengandung unsur mistis dan pengobatan supranatural, satu hal yang harus dicatat. Keduanya yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia, diakui atau tidak adalah salah satu jualan sektor pariwisata yang sampai saat ini masih menjadi primadona kalangan wisatawan.
Pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi berpendapat, harusnya dalam Revisi RUU Penyiaran, pemerintah lebih menguatkan fungsi kinerja KPI. Salah satunya dengan menambah komisi-komisi tertentu yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Missal dengan menguatkan fungsi pengawasan konten digital, khususnya media sosial yang kerap menjadi alat penyebaran konten negatif dan hoaks.
Dengan Revisi RUU Penyiaran, yang hanya berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Serta berpotensi menghapus karakter dan identitas bangsa Indonesia, yang terkandung dalam budaya Banyuwangi dan budaya Nusantara, pers Banyuwangi atau Aliansi Jurnalis Banyuwangi, menilai hal ini sangat tidak relevan.
Apalagi di tahun 2024, Kemenkominfo, meminta peningkatan anggaran sebesar Rp 5, 25 Triliun. Yang itu rencana akan digunakan untuk pengembangan pusat monitoring telekomunikasi, pos dan penyiaran.
(Slamet/imam)