Merubah Paradigma buruh menjadi mitra perusahaan Dalam Membangun Masa Depan Bersama

Jepara – Yutelnews.com
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Di Indonesia, peringatan ini sering diwarnai oleh aksi-aksi demonstrasi, pernyataan tuntutan upah layak, dan permintaan jaminan perlindungan bagi para pekerja. Semua itu sah dan perlu, sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan penguatan hak-hak tenaga kerja.

Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada satu kekuatan besar yang selama ini belum mendapat perhatian serius: perubahan mindset. Perubahan dari cara pandang lama yang membedakan pekerja dan pemilik modal secara kaku, menuju pola relasi baru yang lebih manusiawi dan bermartabat: kemitraan.

*Menggeser Istilah, Mengubah Realitas*

Istilah “buruh” dalam konteks tertentu mengandung stigma ketimpangan. Ia terdengar pasif, bergantung, dan inferior. Seolah pekerja adalah pihak yang hanya menanti upah, sedangkan pengusaha adalah yang menentukan segalanya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari, keberlangsungan perusahaan bergantung pada kinerja para pekerja. Tanpa produktivitas dan loyalitas mereka, perusahaan sebesar apa pun tidak akan bertahan.

Jika kita mulai menggeser istilah “buruh” menjadi “mitra kerja” atau “rekan usaha”, maka kita tidak sekadar bermain kata-kata. Kita sedang mengubah kerangka pikir. Kita menempatkan pekerja sebagai subjek pembangunan, bukan objek eksploitasi. Kita mengajak kedua belah pihak—pekerja dan pengusaha—untuk duduk sejajar dalam semangat partnership, bukan permusuhan.

*Rasa Memiliki, Bukan Sekadar Mengabdi*

Perubahan mindset ini mendorong tumbuhnya rasa memiliki. Seorang mitra tidak hanya bekerja demi gaji, tetapi turut menjaga keberlangsungan usaha karena ia merasa menjadi bagian dari sistem. Di sisi lain, perusahaan yang memandang pekerjanya sebagai mitra tentu akan memperlakukan mereka dengan adil, transparan, dan penuh penghargaan.

Dalam suasana seperti itu, kesejahteraan bukan lagi sesuatu yang diperjuangkan lewat aksi jalanan atau ancaman mogok kerja. Ia menjadi buah alami dari kerja sama, saling menghormati, dan tanggung jawab kolektif.

*Kesejahteraan yang Berbasis Kolaborasi*

Kita tentu tidak menutup mata terhadap praktik-praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal. Upah murah, jam kerja panjang, dan minimnya jaminan sosial masih menjadi kenyataan. Tapi alih-alih hanya mengandalkan tekanan dan tuntutan, mengapa kita tidak membangun kultur saling percaya?

Sudah saatnya pekerja memahami bahwa keberlangsungan perusahaan adalah keberlangsungan mereka juga. Dan perusahaan menyadari bahwa loyalitas pekerja tidak dibeli dengan upah murah, tetapi ditumbuhkan lewat pengakuan dan penghargaan.

Inilah esensi kesejahteraan yang berkelanjutan: bukan semata hasil dari negosiasi keras, tetapi dari hubungan industrial yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

*Hari Buruh: Momentum Merubah Paradigma*

Hari Buruh bukan sekadar momen simbolik untuk menuntut hak. Ia adalah refleksi kolektif tentang arah masa depan hubungan kerja kita. Apakah kita akan terus mempertahankan polarisasi antara “atasan” dan “bawahan”? Ataukah kita bersedia membangun kemitraan sejati, di mana setiap pihak merasa dihargai dan bertanggung jawab?

Jika jawaban kita adalah yang kedua, maka perubahan itu harus dimulai dari bahasa dan mindset. Dari “buruh” menjadi “mitra kerja”. Dari “mengabdi” menjadi “berbagi tanggung jawab”. Dari “milik bos” menjadi “milik bersama”.

Karena ketika kita merasa memiliki, maka kita akan berjuang bukan untuk menuntut, tetapi untuk tumbuh bersama.

Selamat Hari Buruh.

(Singgih)

Posting Terkait

JANGAN LEWATKAN