YUTELNEWS.com | Mendahuluinya mengutip suatu ungkapan kontemplatif bahwa, “apa yang kita sebut kebetulan mungkin adalah logika Tuhan.”. Kata-kata ini merupakan qoutes Georges Bernanos (1888-1948). Ia seorang penulis berkebangsaan Perancis, yang populer memalui novelnya berjudul : “The Diary of a Country Priest”, yang mengisahkan seorang Pendeta yang tidak saja konsen dengan urusan spritual, tapi ia juga fokus pada urusan sosial kemanusiaan nun di suatu desa di Perancis.
Kondisi mereka penuh dengan dinamika kehidupan seperti : kepapaan, konflik, apatis, penderitaan dan sikap ambisius. Dari qoutes sastrawan kelahiran Paris tersebut, menandaskan bahwa ada suatu kebetulan yang kita hadapi, dimana tidak saja tentang aktifitas keseharian kita, tapi juga menyangkut dengan diksi yang sering hadir di tengah-tengah kita sebagai wujud rill interaksi kita.
Misalnya saja kata Hitachi, dimana bukan sekedar suatu brand (merk) Televisi (TV) terkemuka made in (buatan) Jepang yang selama ini kita kenal, tapi di Kepulauan Maluku memiliki makna yang bisa diartikan lain. Hal ini tergantung pada konteks mana warga masyarakat menggunakan diksi Hitachi. Sehingga kemudian dianggap sebagai suatu joke (candaan) tatkala dilontarkan dihadapan publik, yang tentu mengudang tawa kita bersama.
***
Terlepas dari itu, dulu di tahun 1980-an TV mulai mewarnai hari-hari warga masyarakat di tanah air, dimana sangat digandrungi dan menjadi saingan dari radio. Pasalnya TV merupakan revolusi teknologi penyiaran, yang telah menghadirkan tayangan dalam bentuk gambar bergerak, dengan penemunya John Mc. Graham pada abad ke-18 lampau.
Meskipun warna dari TV tersebut masih hitam putih, tapi tetap saja mengundang perhatian para tetangga dekat, dan jauh untuk datang menonton TV. Dampaknya, ruang tamu pun menjadi ramai, yang dipenuhi semua usia, dari anak-anak, remaja hingga para orang tua.
Masih teringat Abner Mage, kawan saya dari Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT) saat di Sekolah Pascasarjana di Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2008 lampau. Ia mengisahkan dulu bersama kawannya mengayuh sepeda belasan km, dari desa mereka ke Waingapu, hanya untuk menonton TV. Bekal mereka saat perjalanan sangat sederhana yakni buah kelapa, yang diikat bergandengan mirip lato-lato mainan anak-anak, dan dipikul dibahu mereka saat diatas sepeda.
Rupanya ada yang menarik, yang disajikan dalam TV, sehingga mereka begitu bersusah payah, menempuh belasan km untuk dapat menonton siaran TV, dari kampunya ke Waingapu. Tak lain antusiasme mereka, untuk menonton pertandingan tinju Ellyas Pical, petinju nasional legendaris Indonesia asal Saparua Maluku, yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta pada 28 Februari 1987.
Namun antusiasme menonton TV kawan saya ini tidak lagi bersemangat seperti pada awalnya. Hal ini lantaran putra dari Mama Ana ini dikalahkan Khaosai Galaxy petinju Thailand pada ronde ke-14. Kekecewaan kawan saya ini pun dilampiaskannya, dimana ketika balik dari Waingapu ke desanya, dengan membuang sepeda mereka di sungai di penghujung desa mereka.
Saya tanya kepadanya dalam dialeg Melayu Ambon-Timor ”bu Ner mangapa ale buang speda ?”. Balas kawan saya ini, “nyong Jen beta marah nah buang speda di kali di ujung kampong, abis Ellyas Pical. Padahal beta deng tamang trap speda jaoh-jaoh deng jalan sonde bagus. Abis itu baru beta lompat mandi di kali malam itu jua.”
***
Terlepas dari itu, pada era 1980 salah satu merk TV yang terkenal disamping : Sharp, Nasional, Crown, Royal, Grundig, Blaupunk, Loxor, Sony, ITT, Saba, Solitron dan Telefunken adalah brand Hitachi. TV merk ini banyak menempati ruang-ruang tamu warga masyarakat di tanah air. Dari nama brand TV kita sudah pasti mengetahuinya, dimana merupakan produk elektronik Negeri Matahari Terbit, Jepang yang diproduksi Hitachi Group.
Hitachi Group hingga kini tetap konsisten ditengah dinamika perkembangan zaman pada Era 4.0 atau Revolusi Industri 4.0, yang semakin pesat, dimana menggarap teknologi sedari awal bisnisnya sampai saat ini. Hal ini terlihat sampai dengan tahun 2020, Hitachi masih berbisnis di bidang teknologi informasi, seperti kecerdasan buatan, Internet of Things, dan mahadata, hingga infrastruktur.
***
Rupanya bukan sekedar brand TV terkenal di era 80-an saja, tapi dalam dinamiknya Hitachi merupakan sebutan bagi warga keturunan Cina di Kepulauan Maluku di era 90 an lalu. Dimana ada sebagian kecil dari mereka tidak lagi memiliki warna kulit putih ala ras Monggoloid sebagaimana ciri khasnya, tapi telah memiliki warna kulit sawo matang agak hitam.
Warna kulit mereka yang demikian, lantaran leluhur atau orang tua mereka sudah kawin silang dengan warga pribumi di Kepulauan Maluku. Sehingga jika dalam percakapan warga masyarakat sehari-hari dalam dialeg bahasa Melayu Ambon, sering dikatakan : “dia itu Hitachi lai”, yang memiliki arti singkatannya “hitam tapi Cina”.
Mereka yang bercakap-cakap dalam dialeg bahasa Melayu Ambon tersebut lantas mengatakan, “ia dia Hitachi karna dia pung mama orang negeri, sedang dia pung bapa orang Cina”. Namun ada juga yang sering diplesetkan dengan tujuan joke di tengah-tengah warga masyarakat. Hal ini bukan semata-mata merupakan bagian dari body shaming (celaan fisik).
Dimana biasanya terjadi antar satu idividu, dan satu individu yang lainnya di tengah-tengah warga masyarakat, sebagai bentuk perseteruan mereka. Namun benar-benar merupakan suatu joke. Hal ini berkaitan dengan kolega atau handaitaulan warga masyarakat pribumi di Kepulauan Maluku, yang memiliki ciri-ciri fisik hampir menyerupai orang Cina, seperti : rambut bak landak, bibir yang tipis, dan mata agak cipit.
Hanya yang membedakannya yakni, warna kulit sawo matang yang agak hitam. Mereka ini juga rata-rata bukan merupakan generasi kawin silang antara orang Cina dan pribumi, yang mendiami Kepulauan Maluku. Tapi mereka adalah benar-benar para sosok warga pribumi Kepulauan Maluku. Sehingga joke dengan sebutan Hitachi pun sering kali muncul dalam percakapan warga masyarakat di Kepulauan Maluku, dengan menggunakan dialeg bahasa Melayu Ambon tersebut.
Mengakhirinya meminjam ungkapan Odette Pollar, Seorang wirausahawan berkewarganegraan Amerika Serikat, yang tingga di Oakland bahwa, ”tertawa membuat rileks. Ini setara dengan menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya..”. Ungkapan tersebut, tentu sesuai dengan realitas, dimana kita perlu sebanyak-banyaknya menyampaikan joke tatkala kita berinteraksi dengan kolega atau handaitaulan kita. Hal ini akan membuat kita bisa tertawa beramai-ramai, yang memiliki dampak positif untuk kesehatan kita bersama.
Kaperwil Maluku (SP)