Diskusi Tipis di Kopi Andani: Menuju Jepara MULUS, Dimulai dari Kesadaran Kolektif

Yutelnews.com – Jepara
Senja belum sempurna tenggelam ketika aroma kopi robusta khas pegunungan Muria mulai menyapa hidung kami. Suasana di Kopi Andani, yang terletak tidak jauh dari pusat kota Jepara, seperti biasa hangat dan penuh obrolan. Namun malam ini, ada yang berbeda. Di salah satu sudut, diskusi kecil tapi dalam mulai menggeliat. Topiknya tak lain: bagaimana mewujudkan Visi Jepara MULUS—Maju, Unggul, Lestari, Unggul dan Sejahtera.
“Ide besar tak akan pernah tumbuh kalau akarnya lemah,” ujar seorang penggerak komunitas budaya sambil menyeruput kopinya. *“Akar masalah kita di Jepara bukan soal kurangnya potensi, tapi lemahnya kesadaran kolektif.”*
Semua mengangguk pelan. Kalimat itu menggambarkan kenyataan yang selama ini dirasa tapi tak banyak dibahas. Jepara adalah daerah kaya: budaya, alam, sejarah, dan SDM-nya luar biasa. Tapi apa yang membuat semua itu belum bisa bergerak serempak?

*Belum Terjalinnya Kolaborasi Masyarakat*

Salah satu peserta diskusi mengangkat persoalan bahwa masyarakat Jepara masih banyak yang berjalan sendiri-sendiri. “Kita ini ibarat potongan puzzle yang belum pernah dirangkai,” katanya. Usaha mikro, komunitas seni, nelayan, petani, bahkan birokrasi lokal—semuanya punya peran masing-masing, tapi belum saling terkoneksi dalam satu misi besar.

*Minimnya Kesepahaman Kolektif*

Tak hanya kolaborasi, diskusi pun menyentuh pentingnya kesepahaman kolektif. Visi besar Jepara MULUS tidak bisa diwujudkan hanya oleh pemerintah atau elite politik. Dibutuhkan pemahaman yang sama dari seluruh lapisan masyarakat: bahwa kemajuan daerah adalah tanggung jawab bersama. Tanpa kesepahaman ini, masyarakat akan cenderung reaktif, bukan proaktif.

*Lemahnya Penghargaan terhadap Budaya dan Kearifan Lokal*

“Coba lihat, berapa banyak orang tua yang masih mengajarkan tembang dolanan atau cerita rakyat Jepara kepada anak-anak mereka?” celetuk seorang budayawan. Lemahnya penghargaan terhadap budaya dan kearifan lokal membuat identitas Jepara kian memudar. Padahal budaya adalah fondasi, bukan sekadar hiasan masa lalu. Tanpa budaya, pembangunan akan kering dan kehilangan arah.

*Kurangnya Rasa Memiliki*

Dan akhirnya, semua sepakat: rasa memiliki adalah kunci. Ketika masyarakat merasa Jepara adalah bagian dari dirinya, maka mereka akan menjaga, membangun, dan merawatnya. Tapi ketika rasa memiliki ini luntur, maka semua program sebesar apapun hanya akan jadi proyek semu tanpa keberlanjutan.
Diskusi malam itu memang “tipis”—tanpa moderator, tanpa papan tulis, tanpa struktur. Tapi justru karena itu, kata-kata mengalir jujur. Tak ada basa-basi. Semua ingin perubahan, tapi perubahan itu harus dimulai dari dalam: dari kesadaran setiap warga Jepara.
Sebelum bubar, seseorang berbisik, *“Kalau Jepara ingin MULUS, maka kita harus mulai menyamakan hati, bukan sekadar menyusun visi.*” Kami pun tertawa kecil, lalu berdiri, membayar kopi, dan pulang—dengan pikiran yang tak lagi sesederhana ketika datang.

(Singgih)

Posting Terkait

JANGAN LEWATKAN

NEWS FEED