YUTELNEWS.com | Jepara,- Ketika pemimpin daerah lain sibuk menyusun laporan pencitraan, Mas Witiarso, Bupati Jepara, memilih pendekatan berbeda: turun langsung ke desa-desa, menyapa rakyat, dan mengurai masalah di tempat. Lewat program unggulannya “Bupati Ngantor di Desa”, Witiarso tak sekadar menunjukkan kehadiran simbolik, melainkan menjalankan satu filosofi kepemimpinan klasik: pemimpin harus hadir saat rakyat memanggil, bukan hanya saat rakyat memilih.
Selama 100 hari pertama masa kepemimpinannya, program ini telah mencatatkan banyak pujian dari masyarakat. Di Kecamatan Mayong, misalnya, kehadiran bupati mampu menyelesaikan persoalan administrasi kependudukan, pelayanan kesehatan, hingga sengketa tanah secara cepat dan konkret. Rakyat melihat langsung pemimpinnya bekerja. Namun pertanyaannya, apakah semua itu telah menjadi bagian dari sistem, atau hanya serpihan inspirasi sementara?
Politik Hadir yang Membumi
Program “Bupati Ngantor di Desa” membawa pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan masyarakat. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elite, kehadiran fisik bupati di balai desa menjadi energi baru. Di sinilah letak kekuatan program ini: kehadiran langsung menjadi bahasa politik yang dipahami rakyat kecil.
Secara sosiologis, fenomena ini memperkuat teori “bonding social capital”, di mana kepercayaan publik dibangun melalui relasi langsung dan partisipasi yang sejajar. Warga merasa dihargai, merasa dianggap, dan merasa diperhatikan – bukan sekadar angka dalam statistik kemiskinan. Dalam bahasa sederhana mereka: “Mas Bupati mau ngrungokke awak dewe.”
Potensi Masalah Struktural
Namun, keberhasilan pendekatan personal ini belum tentu menjamin keberhasilan institusional. Banyak pengamat dan aktivis pembangunan desa mencatat bahwa jika program ini tidak diselaraskan dengan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan Proker Desa (Program Kerja Desa), maka berpotensi tumpang tindih, atau bahkan menyimpang dari arah pembangunan desa yang telah disusun partisipatif.
Tanpa integrasi, hasil kunjungan hanya akan jadi “catatan harian” bupati, bukan transformasi sistemik. Ini bukan soal niat, tapi soal keberlanjutan. Program sebaik apapun, jika tidak disistematisasi dalam perencanaan desa, hanya akan jadi potret sesaat – bukan perubahan jangka panjang.
Sinkronisasi: Jalan Menuju Konstruksi Tata Pembangunan Baru
Untuk menjawab tantangan ini, beberapa langkah sinkronisasi penting dilakukan:
– Integrasi Aspirasi ke RPJMDes dan Proker Desa: Aspirasi masyarakat selama kunjungan harus terdokumentasi, dianalisis, dan menjadi input nyata dalam perencanaan pembangunan.
– Forum Diskusi Terpadu (FDT): Bupati, perangkat desa, BPD, tokoh masyarakat, dan warga perlu duduk bersama dalam forum musyawarah untuk membahas rencana tindak lanjut, bukan sekadar ceremonial.
– Matriks Sinkronisasi Program: Dibutuhkan instrumen teknokratik berupa matriks pemetaan antara hasil kunjungan dan program desa, untuk menghindari tumpang tindih dan memastikan kesinambungan.
– Monitoring dan Evaluasi Berkala: Agar sinkronisasi tidak hanya di atas kertas, dibutuhkan evaluasi yang sistematis dan terbuka.
Pendekatan ini sejalan dengan model _governance partisipatif_ , di mana rakyat tidak hanya menjadi objek pembangunan, tapi subjek yang ikut menentukan arah perubahan.
Dimensi Filosofis: Dari Semboyan Menuju Substansi
Dalam falsafah Jawa, pemimpin ideal adalah yang menyatu dengan rakyat: “manunggaling kawula lan gusti”. Mas Witiarso tampaknya memahami bahwa kekuasaan yang sejati bukan terletak pada kursi, tapi pada kepercayaan rakyat. Dengan hadir di desa, ia menembus sekat-sekat formalitas birokrasi, dan menjelma sebagai pamomong yang memberi rasa aman, bukan rasa takut.
Lebih jauh, filosofi Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip:
_“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Mas Witiarso berada di madya – di tengah rakyat, membangun kehendak bersama. Ini bukan sekadar metode, tapi manifestasi dari nilai kepemimpinan etis, yang mengedepankan moralitas dalam tindakan politik.
Menuju Jepara MULUS: Bukan Sekadar Slogan
Visi Jepara MULUS (Maju, Unggul, Lestari, Unggul, Sejahtera) hanya akan berarti jika diterjemahkan secara konkret hingga level desa. Dan program “Bupati Ngantor di Desa” bisa menjadi wahana efektif untuk itu – asalkan disinergikan dengan perencanaan desa, diperkuat kelembagaan, dan dibuka ruang partisipatif secara berkelanjutan.
Dari situlah Jepara tidak hanya akan MULUS dalam retorika, tapi juga dalam pelaksanaan.
Penutup: Rakyat Butuh Pemimpin yang Tidak Jauh
Mas Witiarso telah menunjukkan bahwa kehadiran adalah pesan paling kuat dari kekuasaan. Namun di era modern, kehadiran fisik saja tidak cukup. Harus ada kehadiran sistemik – dalam dokumen, dalam perencanaan, dalam peraturan.
Dengan menyatukan empati sosial dan tata kelola rasional, Jepara bisa menjadi model baru pemerintahan daerah: pemerintahan yang hadir, bukan hanya memerintah.
Rakyat telah membuka pintu. Tinggal bagaimana sistem pemerintahan menyambutnya dengan keterbukaan dan keberlanjutan.
Oleh: Tim ODGJ
(Singgih)













