YUTELNEWS.com | Dua peraturan pemerintah baru memberi wewenang besar soal perizinan usaha kepada BP Batam. Tapi tanpa koordinasi lintas kementerian, implementasinya justru menimbulkan tumpang tindih hukum dan kebingungan di lapangan.
Dua peraturan itu adalah PP Nomor 25 Tahun 2025 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) serta PP Nomor 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko. Kedua aturan itu memberikan pelimpahan hingga 95 persen kewenangan perizinan dari pemerintah daerah dan kementerian teknis ke Badan Pengusahaan (BP) Batam. Namun, transisi tanpa koordinasi lintas lembaga dipandang bisa membuat pelayanan publik berisiko macet.
“Kehadiran dua PP itu mengagetkan semua pihak. Proses pelimpahan kewenangan tidak disertai koordinasi antarkementerian. Itulah sumber kerancuannya,” kata Kepala Ombudsman Kepri Lagat P. Siadari, Senin (21/10).
Menurut Ombudsman, BP Batam kini mengklaim otoritas penuh berdasarkan PP 25 dan 28. Namun kementerian teknis, seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masih berpegang pada undang-undang sektoral yang belum dicabut.
“Akibatnya muncul tumpang tindih kewenangan antara BP Batam, KSOP, dan Pemprov,” ujar Lagat. Situasi itu menciptakan kebingungan di lapangan—perizinan bisa dikeluarkan oleh satu instansi, tapi ditolak oleh instansi lain karena beda tafsir hukum.
Ombudsman memperingatkan, tumpang tindih ini bukan sekadar masalah administratif. “Pelaku usaha bisa terseret perkara hukum hanya karena perbedaan tafsir kewenangan,” katanya.
Lagat Siadari Ombudsman Kepri
Lagat menilai BP Batam belum siap secara kelembagaan untuk mengambil alih ribuan layanan lintas sektor. Dari aspek administrasi dan sumber daya, transisi mendadak ini berpotensi memunculkan stagnasi layanan.
Ia mencontohkan, dalam sektor pelayaran, perbedaan dasar hukum antara BP Batam dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) sempat menyebabkan kasus pidana bagi pelaku usaha. “Kalau ini terus berulang, investasi bisa lesu,” ujarnya.
Ombudsman meminta pemerintah pusat segera menerbitkan regulasi transisi dan membentuk forum koordinasi antarkementerian untuk menjernihkan garis kewenangan.
“Harus segera ditetapkan: masa transisinya kapan, mekanisme pelimpahan siapa ke siapa, dan batas kewenangannya apa,” kata Lagat. Ia mengingatkan, tanpa penataan, bukan hanya administrasi yang kacau, tapi potensi konflik hukum dan ekonomi juga bisa muncul.
Batam selama ini menjadi motor investasi nasional karena statusnya sebagai kawasan perdagangan bebas. Namun, perubahan regulasi yang tidak disertai koordinasi berpotensi menurunkan kepercayaan investor. Ombudsman menilai, pemerintah perlu memastikan implementasi kebijakan tidak sekadar mempercepat birokrasi di atas kertas, tetapi juga menjamin kepastian hukum di lapangan.
Pengusaha Pelayaran Khawatir
Diberitakan, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 Tahun 2025 menjanjikan efisiensi perizinan usaha di Batam tapi di lapangan muncul kekhawatiran soal tumpang tindih kewenangan.
Alih-alih memangkas birokrasi, penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2025 justru memunculkan kekhawatiran baru di Batam. Regulasi yang mengubah PP Nomor 41 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) itu dinilai bisa menimbulkan dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan kementerian pusat. PP baru ini berlaku sejak 3 Juni 2025.
Pemerintah pusat menyebut beleid baru ini akan memperkuat kepastian hukum dan efektivitas perizinan di kawasan Batam. Namun sebagian pelaku usaha menilai sebaliknya: perubahan itu justru berpotensi menimbulkan kekacauan administrasi dan persoalan hukum baru di tingkat pelaksana.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Batam Maju (FMPBM), Osman Hasyim, menilai PP 25 Tahun 2025 memperburuk tumpang tindih kewenangan yang selama ini sudah terjadi. Ia mencontohkan, dalam sektor pelayaran dan industri maritim, kini ada dua lembaga yang memberi layanan kepada pengguna jasa: Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah Kementerian Perhubungan, serta BP Batam yang juga memiliki dasar hukum berbeda.
“Akibatnya, kebijakan di lapangan menjadi tidak efektif dan tidak efisien,” kata Osman, Sabtu, 11 Oktober 2025. Menurutnya, kondisi ini membuat banyak pejabat pelaksana gamang mengambil keputusan. “Kalau dijalankan salah, tidak dijalankan juga salah. Pejabat di lapangan jadi waswas,” ujar mantan Ketua INSA Batam itu.
Osman menambahkan, ketidakjelasan itu bahkan membuat beberapa pelaku industri maritim terseret ke proses hukum. Ia khawatir, dengan diberlakukannya PP 25, sejumlah izin yang diterbitkan BP Batam bisa dianggap tidak sah jika bertentangan dengan undang-undang di atasnya. “Bayangkan kalau izin kehutanan atau pertanahan dikeluarkan BP, padahal itu kewenangan kementerian. Bisa menimbulkan kekacauan pelayanan publik,” katanya.
Menurut Osman, persoalan utama terletak pada mekanisme pelimpahan kewenangan. Ia menegaskan bahwa BP Batam seharusnya tidak mengambil alih kewenangan kementerian, melainkan menerima pelimpahan secara resmi. “Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2000 sudah jelas, BP Batam mendapat pelimpahan kewenangan, bukan mengambil alih. Kalau mengambil, itu bertentangan dengan undang-undang,” tegasnya.
Osman juga menyoroti posisi hukum Peraturan Kepala BP Batam (Perka) yang selama ini kerap digunakan sebagai dasar operasional lembaga tersebut. “Perka bukan perundangan. Jadi melanggar Perka tidak sama dengan melanggar undang-undang. Hirarkinya sudah jelas: dari UUD, TAP MPR, undang-undang, PP, Permen, hingga peraturan daerah. Tidak ada posisi Perka di situ,” ujarnya.
Untuk mencari solusi, FMPBM berencana menggelar Focus Group Discussion (FGD) lintas sektor. Forum ini akan melibatkan akademisi, praktisi hukum, anggota DPD, serta DPRD Provinsi Kepri dan Kota Batam. “Tujuannya mencari jalan tengah agar pelaksanaan PP 25 tidak menghambat pelayanan publik,” kata Osman.
Wali Kota ex-officio Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, punya pandangan berbeda. Ia menyebut PP 25 Tahun 2025, bersama PP 28 Tahun 2025 tentang pelayanan perizinan berbasis risiko, merupakan langkah besar penyederhanaan birokrasi dan peningkatan pelayanan publik di Batam.
“Seluruh jenis perizinan yang menjadi ranah dan kewenangan BP Batam kini diambil alih penuh. Ada tiga kategori utama: pelayanan dasar, pelayanan perizinan berusaha, dan perizinan penunjang usaha,” ujar Amsakar, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, dari 16 sektor usaha yang diatur, terdapat 2.416 layanan perizinan dan non-perizinan yang kini dapat diakses secara daring. BP Batam juga telah menyiapkan dashboard pemantauan real-time untuk memonitor progres penyelesaian izin. “Menjelang petang kami pantau izin yang belum selesai. Capaian harian saat ini di atas 88 persen,” katanya.
Bagi Amsakar, integrasi layanan ini adalah bukti keseriusan pemerintah menyederhanakan perizinan di Batam. Ia menilai kekhawatiran soal tumpang tindih kewenangan tak perlu dibesar-besarkan. “Intinya semua kembali ke pelayanan publik yang cepat, transparan, dan terintegrasi,” ujarnya./ Red


 

 
																						 











