Haidar Alwi: Dalam Sengketa Empat Pulau Aceh, Kita Diingatkan untuk Tidak Lalai pada Sejarah

YUTELNEWS.com | R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyerukan agar bangsa ini tidak mudah melupakan wilayah yang dulu ikut menyelamatkan Republik dari kehancuran. Baginya, keistimewaan Aceh bukan sekadar status administratif, melainkan bentuk penghormatan terhadap jejak sejarah, keberanian, dan pengorbanan yang telah dicatat dunia sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam.

Polemik terkini terkait sengketa empat pulau, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, menurut Haidar Alwi, merupakan alarm bagi kita semua. Ia menegaskan bahwa sengketa ini bukan sekadar persoalan batas wilayah administratif, melainkan cermin cara negara memperlakukan keistimewaan yang telah dijanjikan. Ketika pusat mengambil keputusan sepihak yang memicu gejolak di akar rumput, kita harus bertanya: apakah negara masih mengingat sejarahnya sendiri?

Warisan Keistimewaan Aceh: Sejarah yang Tidak Boleh Pudar.

Kesultanan Aceh Darussalam adalah kekuatan besar yang berdiri sejak abad ke-16, berdaulat, disegani, dan menjadi pusat ilmu serta perlawanan terhadap kolonialisme. Ketika penjajahan Belanda melanda Nusantara, Aceh menjadi wilayah terakhir yang bisa ditaklukkan, itupun setelah perlawanan berdarah selama lebih dari tiga dekade.

Banyak sejarawan sepakat bahwa secara moral dan simbolik, Aceh tidak pernah menyerah. Inilah dasar paling kuat dari keistimewaan Aceh: ia bukan hadiah, melainkan bentuk pengakuan terhadap daya tahan sejarah.

Saat Republik Terancam, Aceh yang Berdiri Paling Depan.

Pada masa genting setelah Proklamasi, Aceh menjadi tulang punggung Republik yang masih muda dan belum kokoh. Dari hutan Aceh, Radio Rimba Raya menyiarkan kepada dunia bahwa Indonesia belum jatuh. Rakyat Aceh pula yang menyumbangkan emas mereka untuk membeli pesawat Seulawah RI-001, pesawat yang kemudian menjadi simbol lahirnya Garuda Indonesia.

Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1948 di Banda Aceh menyatakan:

Aceh akan menjadi daerah istimewa dalam negara Republik Indonesia.

Bagi Haidar Alwi, ini bukan sekadar retorika sejarah, melainkan janji kenegaraan yang wajib dijaga dan diwujudkan hingga hari ini.

Diakui Secara Hukum, Tapi Tak Selalu Dihargai Sepenuhnya.

Keistimewaan Aceh telah diakui secara legal: mulai dari PP No. 8 Tahun 1956, hingga UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Hak istimewa ini mencakup penerapan syariat Islam, keberadaan Mahkamah Syariah dan polisi syariah (Wilayatul Hisbah), sistem pendidikan berbasis nilai keislaman, penggunaan lambang dan bendera daerah, serta hak membentuk partai lokal.

Namun dalam praktiknya, banyak pendekatan negara justru mengabaikan nilai-nilai tersebut. Sengketa empat pulau adalah contohnya: ketika suara masyarakat Aceh Singkil tidak dijadikan bagian dari proses pengambilan keputusan, rasa keadilan dan marwah daerah kembali terusik.

“Keistimewaan Aceh bukan hanya tertulis dalam undang-undang, tapi hidup dalam hati rakyatnya. Dan itu tidak bisa diabaikan dengan keputusan administratif semata,” ujar Haidar Alwi.

Bangsa yang Kuat Harus Tahu Cara Menghormati Sejarah.

Haidar Alwi menegaskan, penyelesaian sengketa batas wilayah harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, adil, dan menghormati warisan sejarah. Ia mendorong pemerintah pusat agar tidak hanya menggunakan parameter hukum dan peta, tetapi juga membuka ruang konsultatif yang melibatkan tokoh adat, sejarawan, akademisi, dan masyarakat setempat.

Menurutnya, ketika pemerintah melupakan konteks sejarah dan mengandalkan semata-mata legalitas administratif, maka kepercayaan daerah kepada negara bisa perlahan luntur.

“Jika empat pulau itu kecil di peta, maka jangan lupa: mereka besar di hati masyarakat Aceh. Dan itu yang tidak boleh disepelekan,” ungkap Haidar Alwi.

Menjaga Janji, Menjaga Indonesia.

Aceh tidak sedang meminta keistimewaan baru. Aceh hanya mengingatkan kembali pada apa yang dulu telah dijanjikan dan disepakati. Sengketa empat pulau hanyalah satu dari sekian banyak pengingat bahwa bangsa ini perlu lebih berhati-hati dalam memperlakukan sejarah.

Haidar Alwi mengajak seluruh komponen bangsa untuk tidak mudah menghapus babak penting dari buku sejarah republik ini. Baginya, Aceh adalah saksi sekaligus penyelamat Republik, dan pantas mendapatkan perlakuan yang adil, setara, dan terhormat.

“Bangsa yang sehat bukan hanya pandai membangun, tapi juga tahu bagaimana menghargai jasa. Dan Aceh telah memberi jasa yang tak ternilai,” pungkas Haidar Alwi.

“Dalam sengketa empat pulau Aceh, kita bukan sedang memperebutkan wilayah. Kita sedang diuji: apakah kita masih bangsa yang tahu berterima kasih, atau tidak.”

(Singgih)

Posting Terkait

JANGAN LEWATKAN