Sukabumi – Yutelnews.com ,GUGATAN di PTUN Bandung, pada 2019 silam, hakikatnya dilakukan untuk membuka tabir informasi soal status lahan eks HGU PT. Tenjojaya —kini nyaris dikuasai kembali PT. Bogorindo Cemerlang— karena paska vonis empat terdakwa kasus korupsi pelepasan / penjualan aset negara seluas 299,43 hektar itu, status lahan malah menjadi gelap gulita.
Sedangkan, pra peradilan yang dilakukan mantan Kepala BPN Tatang Sofyan, setelah 5 tahun lebih ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Kabupaten Sukabumi, (diluar dugaan gratifikasi) adalah soal kepastian hukum.
BEDEBBAHH…. Dua kejadian ini di kemudian hari dimanipulatif alias ditafsirkan tak nyambung, sebagai upaya mengembalikan (merampok) kembali tanah negara dan menciptakan playing victim di tengah publik.
Demi melindungi aset negara dan menyelamatkan anak bangsa sebagaimana visi pembangunan dari bawah (desa) dalam Asta Cita Presiden Prabowo. Maka negara harus segera hadir menyelesaikan konflik agraria plus redistribusi lahan di Tenjojaya, Cibadak, Kabupaten Sukabumi ini. Jangan nanti muncul kembali muka-muka lama mafia tanah bermodus baru.
Ingat, Tenjojaya bukan PIK 2 !!!!
SUKABUMI ¦ Gugatan Tri Pramono, warga Desa Tenjojaya, Cibadak, terhadap Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor : 38/G/2019/PTUN.BDG yang teregister pada 29 April 2019, serta perkara Nomor : 67/G/2019/PTUN.BDG tanggal 27 Juni 2019, adalah upayanya untuk mencari keadilan, terlebih tempat tinggalnya bahkan lahan Kantor Desa Tenjojaya dan rumah warga lainnya, tiba-tiba di floating masuk dalam sertifikat pihak lain
“Ceritanya karena waktu itu saya belum tahu, status lahan ini bagaimana (paska vonis 4 terdakwa), saya kan penggarapnya, apakah ini di sita negara atau dikembalikan. Pada gugatan pertama yang nomor perkara 38 itu, saya gugat keseluruhan karena HGU PT. Tenjojaya itu dulu 3 sertifikat (SHGU No.21, 22 dan 24) semuanya 299,43 hektar, karena saya kan tidak tahu objek, pada akhirnya dinyatakan N.O. oleh PTUN karena kabur gugatan, karena sudah menjadi SHGB No. 182. Kemudian setelah gugatan pertama dicabut, saya gugat kembali objek SHGB No. 182 tersebut, ternyata pas persiapan (pemeriksaan) sudah berubah lagi menjadi sertifikat No. 228, alasannya karena sudah dilebur/digabungkan oleh BPN, jadi saya tuh harus mencabut gugatan, nah saya cabut,” kata Tri Pramono, Senin (23/6/2025).
Khusus soal gugatan Nomor : 67/G/2019/PTUN.BDG, terhadap SHGB No. 182 atas nama Ari Yudistira, yang diterbitkan BPN Kabupaten Sukabumi, dijelaskan Tri, karena lahan miliknya masuk dalam sertifikat tersebut.
“Nah, ternyata rumah saya, kantor desa dan lahan warga lainnya itu ada di dalam SHGB Nomor 182 atas nama Ari Yudistira, saya kan bingung ini Ari Yudistira siapa, wong saya tidak pernah menjual atau mengalihkan. Ternyata semua 299,43 hektar itu dia redis dengan 3 SKPH oleh kepala kantor, supaya tidak melebihi kewenangan kanwil waktu itu, jadi dibagi-bagi supaya tidak melebihi dua hektar,” ujarnya.
Cerita satunya, soal praperadilan penetapan status tersangka mantan Kepala BPN Kabupaten Sukabumi Tatang Sofyan, yang tercatat dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2022/PN.Cbd, dengan termohon Jaksa Agung RI c.q. Kajati Jawa Barat c.q. Kajari Cibadak Kabupaten Sukabumi, dengan putusan mengabulkan seluruh permohonan pra peradilan pemohon, menurut Tri sebagai upaya dalam memperoleh kepastian hukum, bahkan Tri juga pernah ikut memohon agar status Tatang Sofyan segera diputuskan.
“Pada tahun 2016 kan masih menyisakan dua tersangka Tatang Sofyan dan Iim, yang empat sudah di vonis. Saya juga pernah bersurat ke Kejari Kabupaten Sukabumi, karena ini kan masih ada dua tersangka yang belum diproses, melanggar hak azasi dong, karena sudah lama ditetapkan tersangka, ditahan nggak, dibiarin nggak, kan tidak ada kepastian hukum. Jadi status tersangkanya memang gugur, tapi kan bukan soal status lahannya,” sebutnya.
Nah, kedua kejadian inilah yang menurut Tri Pramono digoreng, seolah-olah lahan eks HGU PT. Tenjojaya seluas 299,43 hektar itu dinyatakan sah milik PT. Bogorindo.
“Cerita ini sebenarnya sudah pernah saya share di beberapa media, cuma nggak naik beritanya, mungkin ditutup,” katanya.
Tri Pramono, menekankan bahwa sampai saat ini belum ada penetapan dari Pengadilan Tipikor Bandung yang menyatakan barang bukti dikembalikan, terlebih plang penyitaan kejaksaan masih ada di lokasi.
“Bukti keserakahan dan tindakan ilegal Bogorindo yang paling nyata adalah adanya sengketa dengan PT. Indonesia Power yang saluran PLTA Ubrug yang notabene merupakan obyek vital nasional, masuk ke dalam SHGB Bogorindo No. 221, dan itu pada akhirnya menuai polemik di antara kedua belah pihak. Perlu kami tegaskan bahwa kami bukan tamu di tanah ini, karena ini tanah leluhur kami. Pemerintah jangan merubah tanah kami atas nama pembangunan, jangan jadikan sorga tapi kami sebagai penonton. Sisakan tanah untuk anak cucu kami,” tutup Tri.
Reporter : Mirna